28/03/08

Yang Lalu

Lelakiku memandang jauh nelayan yang melempar sauh. Di bibirnya, helai daun nyiur. Ingatkah ia padaku, yang tersembunyi di balik karang hatinya?

Begitu tegak ia menengadah, menghujamkan tatapan pada langit dengan penuh kebencian. Hidup yang begitu nestapa. Ia tuliskan di atas pasir, tentang cinta, tentang mimpi, tentang kebahagiaan yang begitu diimpikan. Ombak menghapusnya, tapi tidak mampu menghapus cinta yang ia simpan. Yang senantiasa ia berikan. Tidak hanya padaku.

“Aku mencintai laut,” bisiknya suatu kali. Kami bersama malam, menghabiskan nikmat rembulan yang begitu hangat. Saat itu, bersantai di pinggir pantai. Kami lambaikan tangan, pada nelayan yang menghitung bintang. Ia tenggelam dalam kegelapan. Itu telah lampau. Laut memisahkan kami.

Lautan itu bernama kenyataan, hidup yang dijalani tiap-tiap manusia, mencari hakikatnya. Belajar tidak ada habisnya. Hidup, tak harus senantiasa mengikuti arus. Seperti yang telah dikemukakan jauh berabad-abad. Seorang lelaki yang hidup dan matinya di hamparan gurun gersang. Ajarilah anakmu berenang. Berenang, atau tenggelam.

Lautan kenyataan, tanpa tepi. Dan kita berada dalam kapal yang seakan tak memiliki nakhoda. Membuat misteri atas hidupnya sendiri. Mengundang caci untuk dirinya sendiri. Kita berprasangka, sedang kita tahu pembangunan tidak merata. Kita begitu resah, sangat gelisah. Sehingga prasangka datang dengan mudah. Prasangka yang tercipta atas sebuah kerinduan. Kita sangat merindukan. Hidup yang adil, hidup yang sejahtera. Hidup di atas tanah, tempat kita menyemai benih, tempat kita menanam kasih. Kita menjaga rindu, yang terselip dalam kamar kosong bernama hati. Sedang rasa begitu mudahnya membuncah.

1 Komentar:

Pada 7 September 2008 pukul 09.44 , Blogger redrows underground mengatakan...

born to ressist

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda